Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kepdirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 Tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) diterbitkan untuk memberikan pedoman yang jelas dan sistematis dalam mengimplementasikan kurikulum yang berbasis pada nilai- nilai cinta di madrasah.
Adapun tujuan dari panduan
ini sebagai berikut: a) Memberikan pemahaman tentang pentingnya menanamkan
nilai-nilai cinta dalam pendidikan di madrasah; b) Menyediakan strategi dan langkah-langkah
konkret dalam mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Cinta di madrasah; c) Membantu
guru dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta dalam proses pembelajaran dan
interaksi di madrasah.
Dinyatakan dalam Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Islam Kepdirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 Tentang Panduan Kurikulum Berbasis
Cinta (KBC) bahwa Tahun 2045 menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia yang
dikenal dengan visi Indonesia Emas. Pada tahun tersebut, Indonesia bercita-cita
menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat, pemerataan kesejahteraan,
keadilan sosial, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berdaya saing global.
Target utama meliputi peningkatan kualitas hidup masyarakat, penguasaan
teknologi, dan keberlanjutan lingkungan.
Untuk mewujudkan visi besar
tersebut, kunci utamanya terletak pada pengembangan SDM yang berkualitas. Pada
konteks ini, SDM unggul tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga
memiliki moralitas tinggi, integritas, dan keterampilan untuk menghadapi
tantangan global. Terdapat tujuh ciri SDM berkualitas, yakni memiliki kemampuan
akademik dan kognitif, terampil bersosialisasi dan berkomunikasi, mempunyai
etos kerja dan disiplin, mampu beradaptasi dan memecahkan masalah, memiliki
sikap dan karakter positif, toleran dan saling menyayangi, serta memiliki
keseimbangan fisik dan mental.
Mewujudkan SDM dengan
kualitas tersebut tentu memerlukan sarana yang tepat, dan pendidikan menjadi
opsi logis sebagai wadah utama dalam membentuk generasi unggul. Pendidikan
tidak hanya berfungsi sebagai sarana mentransfer ilmu, tetapi juga sebagai
ruang pembentukan karakter dan nilai moral. Dalam proses ini, pendidikan
berperan sebagai jalan utama untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas
secara akademik, tetapi juga memiliki integritas dan kesiapan menghadapi
tantangan masa depan.
Namun, di tengah peran
strategis yang diemban, sistem pendidikan sedang berhadapan dengan tantangan
yang tidak dapat diabaikan. Salah satunya adalah isu kemanusiaan. Dalam satu
dasawarsa belakangan ini, kemanusiaan tengah menjadi isu hangat, baik pada
tataran global maupun lokal. Pada tataran global, misalnya, sudah sangat intens
muncul ke permukaan isu-isu, seperti perang saudara, konflik antarnegara,
diskriminasi, dan lain sebagainya (Teknosional, 2024; Tempo, 2024). Demikian
juga pada tataran lokal-nasional, Indonesia masih berhadapan langsung dengan
kenyataan serupa. Isu-isu seperti intoleransi (Satria, 2017), pencederaan
terhadap kebebasan beragama (Mantalean & Santosa, 2024), atau konflik
sosial (Wangge, 2023) masih sering muncul.
Dalam beberapa kesempatan,
Menteri Agama RI, Nasarudin Umar menyampaikan tantangan global berupa fenomena
dehumanisasi. Hal ini ditandai terutama dengan meluasnya kekerasan dan konflik
yang sering kali membawa jumlah korban yang mengkhawartirkan. Menag berprinsip
bahwa humanity is only one (Rani, 2024; Yaputra, 2024) sehingga peran
pemberdayaan umat difokuskan pada basis kemanusiaan dan harmoni kehidupan. Pada
konteks ini, agama sering kali diperalat untuk menjadi dalil atas tindak
kekerasan yang mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang. Padahal, peran
agama harus mencakup peningkatan dan pemeliharaan martabat setiap kehidupan
manusia. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar adanya deklarasi Istiqlal
pada akhir tahun 2024.
Fenomena dehumanisasi
semacam ini tentu memiliki dampak destruktif bagi individu dan masyarakat.
Hal-hal seperti ketakutan, kebencian, dan konflik akan semakin tampak ke
permukaan. Oleh karena itu, penting untuk mengatasi fenomena ini dengan
mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti empati, toleransi, dan
kesetaraan yang kesemuanya berlandaskan pada cinta.
Khusus konteks Indonesia,
isu-isu tersebut sangat potensial menjadi tantangan besar yang rumit apabila
tidak segera dilakukan pencegahan melalui pendekatan komprehensif dan
berkelanjutan. Indonesia sangat identik dengan keberagaman yang mencakup aspek
agama, budaya, suku, bahasa, sampai pada adat istiadat yang terhampar dari
Sabang hingga Merauke. Di satu sisi, keberagaman ini secara afirmatif menjadi
kekayaan dan identitas nasional. Namun, di sisi lain, hal ini juga secara
negatif dapat memicu konflik jika tidak dikelola dengan baik (Dihni, 2023).
Untuk mengatasi tantangan
dan mewujudkan pendidikan yang diharapkan, dibutuhkan solusi yang strategis dan
tepat sasaran, salah satunya adalah adanya kurikulum yang relevan, efektif, dan
berkualitas. Pada konteks ini, Kurikulum Berbasis Cinta hadir sebagai solusi
strategis untuk merespons tantangan- tantangan tersebut sekaligus berupaya
mengatasinya melalui wadah pendidikan.
Pendidikan menjadi titik
berangkat yang tepat, setidaknya, berlandas pada dua alasan. Pertama,
pendidikan merupakan pilihan lokus yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai
sejak dini. Melalui pendidikan, anak-anak dan generasi muda dapat dibentuk
menjadi individu yang memahami, menerima, menghargai, serta memberi warna pada
keberagaman. Kurikulum Berbasis Cinta merupakan kurikulum yang inklusif yang
memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berbagi pengalaman dan
pengetahuan tentang keberagaman. Proses internalisasi nilai-nilai seperti
cinta, toleransi, empati, dan keadilan sosial dapat dilakukan secara sistematis
dan terstruktur sejak usia dini.
Kedua, di lembaga pendidikan
sendiri telah terjadi isu-isu minor yang mengarah pada pencederaan nilai-nilai
kemanusiaan. Misalnya, masih ditemukan praktik diskriminasi berbasis identitas
di lingkungan sekolah, seperti perundungan serta kekerasan (Wardah, 2024;
Wibowo, 2024) terhadap peserta didik hingga isu intoleransi (Naufal & Arbi,
2022). Oleh karena itu, Kurikulum Berbasis Cinta hadir untuk merekonstruksi
(menata kembali) sistem pendidikan agar mampu melahirkan insan yang humanis,
nasionalis, naturalis, toleran, dan selalu mengedepankan cinta sebagai prinsip
dasar dalam kehidupan.
Lebih jauh, Kurikulum
Berbasis Cinta memiliki peluang untuk tidak hanya berorientasi pada
penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan di tingkat lokal, tetapi juga
berkontribusi pada penyelesaian tantangan global. Melalui pendekatan yang
mengintegrasikan nilai-nilai cinta dan toleransi ke dalam pembelajaran,
kurikulum ini menawarkan solusi untuk berbagai konflik sosial, diskriminasi,
dan ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dengan demikian,
Kurikulum Berbasis Cinta menjadi sebuah langkah strategis untuk menciptakan
dunia yang lebih damai, harmonis, dan berkeadaban yang berada dalam satu
kesatuan kerangka utuh berupa sikap saling mencintai antarsatu dengan yang
lain.
Di era kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan, masih banyak peserta didik yang mengabaikan sains. Mereka
melihat sains hanya sebagai mata pelajaran di madrasah, bukan sebagai cara
memahami kehidupan dan alam semesta. Kurangnya minat terhadap sains sering kali
berakar dari pendekatan pembelajaran yang kaku dan minim relevansi dengan
kehidupan nyata. Akibatnya, banyak peserta didik yang hanya menghafal teori
tanpa memahami makna mendalam di baliknya.
Dalam Kurikulum Berbasis
Cinta, sains tidak hanya dipandang sebagai kumpulan fakta dan rumus, tetapi
sebagai jalan menuju kebijaksanaan dan kasih sayang terhadap ciptaan Sang
Khaliq. Kurikulum ini hadir untuk mengatasi ketidakpedulian peserta didik
terhadap sains dengan menghubungkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, spiritualitas, dan kebermanfaatan bagi sesama.
Sebagai langkah awal untuk
mewujudkan implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di madrasah, perlu disusun
sebuah panduan yang menjadi rambu-rambu bagi para pemangku kepentingan dalam
melaksanakannya.
Pengguna panduan ini adalah
seluruh madrasah, baik yang berada di tingkat Raudhatul Athfal (RA), Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), maupun Madrasah Aliyah (MA).
Panduan ini juga ditujukan untuk guru, pengelola, dan pihak terkait yang
terlibat dalam pendidikan di madrasah (Kantor Kementerian Agama Wilayah
Provinsi, Kabupaten/ Kota, pengawas madrasah, atau komite madrasah/ masyarakat).
Panduan Kurikulum Berbasis
Cinta (KBC) ini disusun dengan sistematika sebagai berikut.
Bab I mengenai Pendahuluan:
Latar Belakang Penyusunan Panduan, Maksud dan Tujuan Penyusunan Panduan,
Pengguna Panduan, Ruang Lingkup, dan Sistematika Panduan.
Bab II mengenai Konsep Dasar
Kurikulum Berbasis Cinta: Konsep Kurikulum, Konsep Cinta, Definisi Kurikulum
Berbasis Cinta, Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Cinta, Prinsip dan
Nilai dalam Pengembangan Kurikulum Berbasis Cinta, dan Indikator Keberhasilan
Kurikulum Berbasis Cinta.
Bab III mengenai
Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di Madrasah: Tujuan Kurikulum Berbasis
Cinta, Materi Pokok Kurikulum Berbasis Cinta, Pendekatan dan Strategi
Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta, Model Pembelajaran dalam Implementasi
Kurikulum Berbasis Cinta, Evaluasi Kurikulum Berbasis Cinta, dan Tahapan
Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta.
Bab IV mengenai Tugas dan
Tanggung Jawab, Monitoring dan Evaluasi, dan Pelaporan.
Selengkapnya silahkan
download dan baca Lampiran Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kepdirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 Tentang
Panduan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC)
Link download Kepdirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 disini
Demikian informasi tentang Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Islam Kepdirjen Pendis Nomor 6077 Tahun 2025 Tentang Panduan Kurikulum Berbasis
Cinta (KBC). Semoga ada manfaatnya
Posting Komentar untuk "KEPDIRJEN PENDIS NOMOR 6077 TAHUN 2025 TENTANG PANDUAN KURIKULUM BERBASIS CINTA (KBC)"
Maaf, Komentar yang disertai Link Aktif akan terhapus oleh sistem