Beberapa Prinsip-prinsip Pembelajaran yang Efektif dikemukakan oleh Atwi Suparman dengan mengadaptasi pemikiran Fillbeck (1974), sebagai berikut
1. Respon akan diulang bila akibat yang ditimbulkan menyenangkan.
Pembelajaran harus menyenangkan
Pemberian umpan balik harus positif :
respon terhadap hasil belajar peserta didik tidak boleh menyakitkan
respon terhadap hasil belajar peserta didik tidak boleh menyakitkan
2. Perilaku belajar tidak hanya akibat dari respon, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan siswa.
Lingkungan harus kondusif: lingkungan sekitar belajar harus mendukung (termasuk fasilitas umum dan yang secara khusus mendukung pembelajaran). Didalam kelas hanya sebagai pemicu, karena yang ada di luar kelas yang akan menjadi bahan eksplorasi.
Penggunaan metode dan media yang bervariasi: metode dan media yang digunakan dalam pembelajaran merupakan beberapa aspek yang sangat mempengaruhi terbentuknya lingkungan belajar siswa, oleh karenanya perlu untuk diberi variasi agar siswa tidak selalu belajar pada suasana lingkungan yang monoton.
3. Perilaku yang dihasilkan akan berkurang bila tidak diperkuat dengan akibat yang menyenangkan.
Pemberian isi pembelajaran harus bermaknadalam kehidun keseharian peserta didik: kebermaknaan pembelajaran akan terbangun apabila dapat dihubungkan dengan hal-hal yang sering ditemui oleh peserta didik. Akan lebih kuat kebermaknaan jika peserta didik merasa bahwa apa yang dipelajarinya berguna untuk kepentingan sehari-hari atau mendukung untuk mencapai cita-cita keinginannya.
4. Belajar yang terbatas akan ditransfer ke situasi lain secara terbatas pula.
Kegiatan belajar harus berkaitan dengan kondisi lingkungan yang nyata, lingkungan dan kehidupan sehari-hari: pembelajaran sebaiknya menggunakan sesuatu simulasi atau analogi yang sederhana, terutama jika menyangkut objek-objek yang kompeks atau tidak disukai siswa.
5. Belajar mengeneralisai dan membedakan adalah dasar untuk membangun sesuatu yang kompleks.
Penyajian materi harus sistematis : penyampaian materi haruslah sesuai dengan scope dan sequence yang sesuai.
Menggunakan contoh (contoh itu selalu benar) maupun non-contoh : sebagai upaya menyederhanakan materi haruslah didampingi oleh contoh-contoh yang sederhana sampai yang rumit sevariatif mungkin sehingga menjadi simpul-simpul kenangan yang tidak terlupakan. Termasuk dengan memberikan non-contoh sesuatu yang berlainan dengan apa yang menjadi contoh. (missal, ketika menjelaskan tentang kuda maka harus dijalaskan pula tentang apa yang bukan kuda agar siswa benar-benar dapat membedakan kuda dengan hewan lain, keledai misalnya)
6. Kesiapan mental mempengaruhi perhatian dan ketekunan selama proses belajar berlangsung.
Menggunakan media: sehingga dapat menarik perhatian peserta didik untuk mempelajari materi ajar.
7. Kegiatan belajar yang dibagi kecil-kecil disertai cara penyelesaian untuk setiap langkah akan mempercepat pencapaian tujuan belajar.
Penggunaan buku teks terprogram, modul dan paket belajar lainnya: sehingga peserta didik tidak merasa terbebani dengan materi yang harus dipelajarinya dengan tanpa paksaan. Sebuah materi yang terlalu luas agar tidak disampaikan sekaligus dalam sekali penyampaian, agar siswa dapat membangun pemahaman utuh dengan lebih ringan.
8. Kebutuhan menyederhanakan materi yang kompleks dapat dilakukan dengan menggunakan suatu model.
Penggunaaan media dan metode pembelajaran secara tepat: sebagai cara untuk memudahkan penyampaian informasi. Media dan metode yang digunakan agar disesuaikan juga dengan karakteristik dan isi materi yang akan disampaikan sehingga media dan metode dapat mempermudah penyampaian materi bukannya malah mempersulit.
Model-model pembelajaran: sehingga dapat terjadi konsistensi pembelajaran. Karena dengan digunakannya suatu model pembelajaran tertentu akan membuat proses pembelajaran menjadi terstruktur dan memiliki alur yang jelas.
9. Keterampilan tingkat tinggi pada dasarnya terbentuk dari keterampilan yang sederhana.
Tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara sistematis: tidak terburu-buru untuk mencapai tujuan yang akan dicapai, akan tetapi scope (cakupannya) dan sequence (urutannya) harus bertahap dari yang sederhana ke yang kompleks.
10. Belajar akan lebih cepat bila peserta didik memperoleh umpan balik dan cara meningkatkannya.
Kemajuan peserta didik harus diinformasikan secara teratur: Umpan balik (feedback) dapat memberikan pengetahuan terhadap siswa tentang pencapaian belajarnya dan bagaimana pendapat gurunya mengenai pencapaian tersebut. Hal ini dapat menjadi penumbuh motivasi belajar siswa, terlebih jika diperkuat dengan penguatan (reinforcement) beruupa tips-tips belajar atau saran-saran positif.
11. Perkembangan dan kecepatan siswa sangat bervariasi.
Perlu adanya strategi pembelajaran yang tepat: strategi yang digunakan jangan sampai mematikan potensi salah satu atau sebagian siswa, sehingga strategi yang digunakan semaksimal mungkin diupayakan dapat mengakomodir seluruh potensi siswa.
Perlu penyediaan materi yang dirancang secara individual: untuk mengantisipasi keunikan setiap siswa yang tidak terakomodir oleh strategi yang telah dirancang, perlu disediakan bentuk materi yang dirancang secara individual, salah satunya dapat berperan sebagai suplemen materi.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berkembang sesuai kemampuannya: kemampuan siswa yang lebih cepat atau cenderung lambat jangan sampai tertahan atau ditinggalkan, dengan proporsi yang sesuai dan masing-masing harus diberikan perhatian sehingga tidak terabaikan.
12. Dengan persiapan yang baik siswa dapat mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri.
Memberi kesempatan pada siswa untuk memilih cara, waktu dan sumber belajar yang akan digunakan: pembelajaran selaiknya dapat memfasilitasi siswa untuk belajar dengan cara, waktu, dan sumber yang sesuai dengan karakteristik dan kesadarannya sendiri sehingga diharapkan pembelajaran akan berjalan lebih efektif.
Karena pada awalnya ada motivasi ekstrinsik. Setelah melewati proses pendidikan sehingga proses belajar menjadi sebuah kebutuhan dan timbul akibat dari adanya motivasi intrinsik. Motivasi muncul karena adanya ketertarikan terhadap materi yang diajarkan. Dan hal tersebut bias terjadi apabila peserta didik mengetahui kegunaan dari materi yang dipelajarinya.
Untuk membantu penerapan prinsip tersebut terdapat moodel pengembangan motivasi belajar ARCS model, yang merupakan akronim dari Attention (menarik perhatian: baru, aneh, unik, berguna), Relevance (sesuai dengan kebutuhannya atau bermanfaat),confidence (menumbuhkan kepercayaan diri), dan satisfaction (memberikan kepuasan belajar).
Berikut ini makalah Contoh Implementasi atau Penerapan Prinsip Prinsip Pembelajaran
PENERAPAN PRINSIP “BELAJAR AKAN LEBIH CEPAT BILA SISWA MEMPEROLEH UMPAN BALIK DAN CARA MENINGKATKANNYA”; PRINSIP “PERKEMBANGAN DAN KECEPATAN SISWA DALAM BELAJAR SANGAT BERVARIASI”; DAN DAN PRINSIP “DENGAN PERSIAPAN YANG BAIK SISWA DAPAT MENGORGANISASIKAN KEGIATAN BELAJARNYA SENDIRI” DALAM DESAIN PEMBELAJARAN”
I. Pendahuluan
Kata desain menunjukkan adanya suatu proses dan suatu hasil. Sebagai suatu proses, desain pesan sengaja dilakukan mulai dari analisis masalah pembelajaran hingga pemecahan masalah yang dirumuskan dalam bentuk produk. Produk yang dihasilkan dapat dalam bentuk prototipe, naskah atau story board, dan sebagainya. Martinis (2007) menyatakan bahwa guru harus mampu menyajikan informasi yang menarik, dan asing (belum diketahui) bagi siswa-siswi. Sesuatu informasi yang disampaikan dengan teknik yang baru, dengan kemasan yang bagus dan didukung oleh alat-alat berupa sarana atau media yang belum dikenal oleh siswa sebelumnya, sehingga menarik perhatian bagi mereka untuk belajar, misalnya; guru menyampaikan informasi atau pesan pembelajaran dengan alat yang belum mereka kenal sebelumnya. Desain Pesan meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan atau informasi. Hal tersebut mencakup prinsip-prinsip perhatian, persepsi, dan daya serap yang mengatur penjabaran bentuk fisik dari pesan atau informasi, agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima dalam bentuk partisipasi aktif, membutuhkan feedback (Umpan balik) dan juga perulangan. Fleming dan Levie (dalam Seel&Richie,1994) membatasi pesan pada pola-pola isyarat atau simbol yang memodifikasi perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Desain pesan berurusan dengan tingkat paling mikro melalui unit-unit kecil seperti bahan visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah.
Karakteristik lain dari desain pesan adalah bahwa desain pesan harus bersifat spesifik baik terhadap medianya maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung arti bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda tergantung apakah medianya bersifat statis, dinamis atau kombinasi dari keduanya, misalnya suatu potret, film, atau grafik komputer. Juga apakah tugas belajarnya berupa pembentukan konsep atau sikap, pengembangan keterampilan atau strategi belajar, ataukah menghafalkan informasi verbal.
Dengan teori dan prinsip-prinsip belajar, guru akan memiliki dan dapat mengembangkan sikap yang diperlukan untuk menunjang peningkatan belajar siswa, yang dituangkan pada design pesan pembelajaran. Dalam makalah ini akan diuraikan tiga prinsip yang merupakan bagian terakhir dari dua makalah sebelumnya, yaitu: prinsip “Belajar Akan Lebih Cepat Bila Siswa Memperoleh Umpan Balik Dan Cara Meningkatkannya (umpan balik)”; prinsip “Perkembangan Dan Kecepatan Siswa Dalam Belajar Sangat Bervariasi”; dan dan prinsip “Dengan Persiapan Yang Baik Siswa Dapat Mengorganisasikan Kegiatan Belajarnya Sendiri”.
II. Prinsip Umpan Balik
Feedback (Umpan Balik) merupakan suatu bagian penting dalam kegiatan belajar-mengajar. Umpan balik adalah informasi yang diberikan kepada siswa mengenai keberhasilan atau kekurangan dalam belajarnya. Umpan balik sangat mempengaruhi motivasi belajar siswa. Hasil belajar akan meningkat bila terjadi interaksi dalam belajar.
Pemberian umpan balik dari guru kepada siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa. Salah satu prinsip penggunaan umpan balik adalah: diberikan sesegera mungkin oleh guru kepada siswa. Jangan pernah menunda pemberian umpan balik! Untuk memberikan umpan balik, guru dapat melakukannya baik secara verbal maupun secara nonverbal. Umpan balik dapat bersifat reward misalnya, untuk proses pembelajaran maupun terhadap hasil belajar yang mereka lakukan atau capai dengan baik. Bisa pula berupa kritikan yang bersifat membangun motivasi belajar dan perbaikan proses atau pencapaian hasil belajar tadi. Umpan balik hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa. Selain itu, cara memberikan umpan balik pun harus secara santun. Hal ini dimaksudkan agar siswa lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya. Guru harus konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan. Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan diri siswa daripada hanya sekedar angka.
Ada tiga hal penting (Black and William) yang harus diperhatikan dalam menunjang agar proses umpan balik dapat berlangsung efektif, yaitu :
(1) Recognition of the desired goal.
Umpan balik diberikan sebagai respons atas kinerja siswa. Kinerja siswa adalah kesanggupan siswa untuk dapat menunjukkan penguasaannya atas berbagai tujuan pembelajarannya. Guru harus dapat merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai secara jelas dan dapat mengkomunikasikannya pada awal pembelajaran, baik tentang wilayah materi, indikator kurikuler maupun penguasaan tujuan.
Salah satu metode yang cukup efektif untuk memastikan bahwa siswa memahami tujuan pembelajarannya yaitu dengan cara melibatkan mereka dalam menetapkan “kriteria keberhasilan” yang bisa dilihat atau didengar. Misalnya, guru dapat memperlihatkan beberapa contoh produk sebagai tujuan pembelajaran yang patut ditiru oleh para siswa, menunjukkan kalimat-kalimat yang benar dengan ditulis menggunakan huruf kapital, kesimpulan yang diambil dari data, penyajian tabel atau grafik dan sejenisnya.
Apabila para siswa telah dapat memahami tentang kriteria keberhasilan pembelajarannya, mereka akan terbantu untuk mengarahkan belajarnya dan mereka akan lebih mampu untuk melaksanakan proses pembelajarannnya
Selain memberikan pemahaman yang jelas tentang tujuan pembelajaran, guru juga perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami indikator dari tingkat penguasaan tujuan pembelajarannya, baik secara lisan, tertulis maupun dalam bentuk lainnya.
(2) Evidence about present position
Istilah ”bukti” di sini menunjuk kepada informasi atau fakta tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, khusunya tentang sejauhmana tujuan pembelajaran telah tercapai dan sejauhmana tujuan pembelajaran itu belum tercapai.
Grant Wiggin mengemukakan bahwa umpan balik bukanlah tentang pemberian pujian atau celaan, persetujuan atau ketidaksetujuan, tetapi sebagai usaha untuk memberikan nilai atau makna. Umpan balik pada dasarnya bersifat netral yang menggambarkan apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan siswa. Selain itu, bahwa umpan balik juga harus bersifat obyektif, deskriptif dan disampaikan pada waktu yang tepat yakni pada saat tujuan pembelajaran masih segar dalam benak siswa.
Salah satu cara pemberian umpan balik yang cukup bermakna yaitu dengan membandingkan produk siswa dengan kriteria keberhasilan telah telah dikomunikasikan sebelumnya. Contoh sederhana pemberian umpan balik yaitu dengan membuat sebuah format tentang “Daftar Kriteria Keberhasilan”. Dalam daftar tersebut, guru dapat memberikan tanda + (plus) untuk menunjukkan tentang kriteria yang telah berhasil dipenuhi siswa dan memberikan catatan tertentu untuk yang belum dipenuhinya.
(3) Some understanding of a way to close the gap between the two.
Umpan balik yang efektif yaitu harus dapat memberikan bimbingan kepada setiap siswa tentang bagaimana melakukan perbaikan. Black dan Wiliam menegaskan bahwa setiap siswa harus diberi bantuan dan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Guru tidak hanya memberikan umpan balik yang mencerminkan tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran siswanya, tetapi juga harus dapat memberikan strategi dan tips tentang cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan, serta kesempatan untuk menerapkan umpan balik yang diterimanya.
Wiggins meyakini bahwa melalui siklus umpan balik ini dapat menghasilkan keunggulan kinerja siswa. Oleh karena itu, siswa harus senantiasa memiliki akses rutin terhadap kriteria dan standar-standar tugas yang harus dituntaskannya; mereka juga harus memperoleh umpan balik dalam upaya menyelesaikan tugas-tugasnya, mereka harus memiliki kesempatan untuk memanfaatkan umpan balik untuk memperbaiki kerjanya serta mengevaluasi kembali terhadap standar
Contoh Prinsip Umpan Balik Dalam Pembelajaran
Contoh Pelaksanaan prinsip umpan balik dalam Pembelajaran adalah :
Kemampuan Guru Kegiatan Pembelajaran;
Merancang Bahan ajar,
Melaksanakan dan Menilai KBM serta kemajuan belajar siswa secara terus menerus.;
Guru memantau kerja siswa;
Guru memberikan umpan balik
Penerapan Prinsip Umpan balik dalam pembelajaran dan merancang bahan ajar adalah dengan memberikan tugas, latihan soal, PR, ulangan harian, ataupun penguasaan suatu keterampilan kepada siswa. Jenis soal atau tugas yang ditulis dalam bahan ajar tersebut adalah soal yang menyangkut materi pembelajaran yang muatannya diharapkan mudah, menarik dan memerlukan logika berfikir bagi siswa, Siswa tentunya sangat termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya dan kemudian berkeinginan segera mendapatkan hasil pekerjaannya. Guru kemudian memberitahukan apakah tugas yang dikerjakan oleh siswa tersebut sudah benar. Guru selanjutnya mengembalikan pekerjaan siswa yang telah dikoreksi, dinilai, atau diberi komentar atau catatan oleh guru. Sangat disayangkan bila guru suka menunda-nunda pemberian umpan balik terhadap pembelajaran siswa, terutama dalam kaitan koreksi pada kertas kerja siswa. Banyak hal yang dapat membuat guru terlambat atau menunda pemberian umpan balik dalam bentuk ini. Ironisnya, seringkali disebabkan karena rasa malas yang ada dalam diri guru. Penundaan pemberian umpan balik dalam bentuk koreksi kertas hasil kerja siswa sangat merugikan dan merusak motivasi belajar siswa. Guru yang malas mengoreksi pekerjaan siswa seperti PR, tugas, ulangan harian, lembar kerja, dll, membuat siswa menunggu-nunggu. Tidak jarang siswa menjadi kesal terhadap guru, bahkan harus menagih kepada guru tentang kertas hasil kerja mereka. Akhirnya, beberapa siswa cenderung akan kehilangan selera untuk melihat nilai yang mereka peroleh dari hasil pekerjaan mereka itu. Guru yang baik dan profesional seharusnya tidak melakukan penundaan pemberian umpan balik dalam bentuk koreksian pekerjaan siswa. Hasil koreksian tersebut sebenarnya sangat bermanfaat, tidak hanya buat siswa, tapi juga bagi guru. Analisis kelemahan dan kekuatan sebuah pembelajaran dapat dilakukan berdasarkan hasil pekerjaan siswa. Selanjutnya, hasil analisis ini dapat dijadikan dasar pijakan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Pembelajaran yang berdasarkan analisis semacam ini akan berbuah pembelajaran yang efektif, efisien, dan menyenangkan bagi siswa dan guru.
Penundaan koreksi dan pengembalian kertas hasil pekerjaan siswa yang terlalu lama juga menyebabkan guru akan kesulitan memberikan review terhadap materi penting belum dikuasai siswa dengan baik. Karena lamanya selang waktu koreksi dan pengembalian, materi yang tak terkuasai dengan baik oleh siswa itu jadi begitu jauh terlewat. Jika diulang tentu akan mengganggu “smoothness”-nya pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar jadi terdistraksi oleh ketidakruntutan dan bolak-baliknya konten pembelajaran. Lagi-lagi ini akan merusak motivasi belajar siswa.
Agar Umpan balik menjadi lebih baik, ada tiga hal yang mesti dilakukan, yaitu : (1) Fokuslah pada tujuan pembelajaran (2) Berikan umpan balik ini sesering mungkin, dan (3) Berikan penjelasan secara lebih mendalam.
III. Penerapan Prinsip Perkembangan dan Kecepatan Siswa dalam Belajar Sangat Bervariasi
Contoh penerapan prinsip Perkembangan Dan Kecepatan Siswa Dalam Belajar Sangat Bervariasi dalam pelajaran antara lain:
Beri inspirasi
Beberapa anak-anak atau siswa tidak menyukai matematika karena tidak tahu intinya. Tidak seperti membaca atau menggambar, symbol matematika dan bilangan seperti tidak punya arti. Tunjukkan betapa pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari atau di dunia nyata. Ceritakan penemuan-penemuan penting mulai dari piramida di Mesir, sampai ke Mars, tidak ada yang bisa dicapai tanpa metematika, dan matematikawan.
Beri contoh nyata
Ajak anak-anak atau siswa dalam matematika nyata lepas dari sekolah. Temukan sesuatu yang menarik bagi anak dan hubungkan dengan matematika. Misalnya, jika mereka suka basket/sepak bola, selama pertandingan, Tanya amereka berapa point tim yang kalah harus dapatkan untuk memenangkan pertandingan. Dan berapa banyak pertandingan yang mereka butuhkan untuk menang sampai mereka dapat point cukup untuk memenangkan liga? Jika mereka suka membantu di rumah, ajak mereka mengukur kayu yang harus dipotong, atau menimbang bahan untuk kue. Di took ajak mereka menghitung total harga atau tanyakan berapa kembalian uangnya.
Tahap demi tahap
Sukses dalam matematika, seperti juga dalam hidup adalah membagi proyek besar dalam proyek-proyek kecil yang lebih mudah. Tunjukkan keuntungan mengerjakan satu soal dengan membaginya dalam tahap-tahap kecil yang membuat jauh lebih mudah.
Dorongan krativitas
Anak-anak atau siswa mungkin merasa “stuck” dalam suatu topic karena mereka hanya melihat dari satu sisi. Mungkin mereka butuh melihat dari sisi lain yang berbeda. Tunjukkan keindahan sudut pandang yang berbeda. Bantu mereka melihat situasi dari perspektif orang lain. Beri mereka kebiasaan untuk eksploring berbagai cara untuk memcahkan masalah. Bahkan sesuatu yang sederhana seperti membereskan kamar bisa punya berbagai solusi.
Berpikir positif
Haruskah pernyataan negative seperti, “matematika itu susah” (bahkan jika anda merasa itu susah). Jelaskan bahwa semua orang punya kemampuan untuk mengerjakan matematika dan memecahkan soal-soal matematika tidak berbeda dengan memecahkan masalah-masalah lain . Di atas semua itu, berikan kepercayaan diri kepada anak. Ajarkan bahwa selalu ada solusi untuk semua problem. Kita akan berlaku lebih baik kalau kita menyukai yang kita kerjakan, dan membuat anak tertarik pada matematika.
Memberikan asessmen, reward dan refleksi dari proses pembelajaran yang sudah dilakukan.
Peserta didik merupakan manusia biasa yang dalam tahap perkembangannya memerlukan sebuah pengakuan diri, penguatan dan penghargaan terhadap apa yang mereka lakukan. Dengan adanya tindakan guru yang memberikan asessmen dan reward, maka mereka merasa senang dan berusaha untuk memperhatikan apa yang diberikan guru kepada mereka. Dari proses tersebut mereka akan merespon dan melakukan inisiatif untuk menciptakan pembelajan yang kreativ. Hal ini merupakan suatu jalan mulus bagi guru untuk terus masuk kepada materi-materi pelajaran sekalipun itu agak sukar bagi mereka untuk mengerjakannya. Tetapi mengarahkan dan memandu dalam mengemukakan apa yang telah mereka pelajari dari awal sampai akhir materi pelajaran lebih penting lagi. Sehingga mereka dapat mengungkapkan apa yang telah mereka pelajari hari ini.
III. Penerapan Prinsip dengan Persiapan yang Baik Siswa Dapat Mengorganisasikan Kegiatan Belajarnya Sendiri
Kata mandiri mempunyai arti yang sangat relatif. Pada dasarnya kata mandiri mengandung arti tidak tergantung pada orang lain, bebas, dan dapat melakukan sendiri. Kata ini seringkali diterapkan untuk pengertian dan tingkat kemandirian yang berbeda-beda. Berikut ini isajikan beberapa contoh:
a. Seorang ibu bercerita kepada teman-temannya bahwa anaknya yang berumur 8 tahun (kelas satu atau dua Sekolah Dasar) sudah dapat mandiri. Dia sudah dapat mandi sendiri, berpakaian sendiri dan makan sendiri. Pada pagi hari sang ibu cukup menyediakan air hangat untuk mandi, sabun, dan handuk, si anak akan dapat mandi sendiri tanpa harus dimandikan. Selesai mandi sang anak juga sudah dapat mengenakan baju yang telah disiapkan oleh ibunya dengan rapi di kamar. Dia tidak memerlukan bantuan lagi waktu mengenakan bajunya. Setelah itu sang anak juga dapat makan pagi sendiri tanpa harus disuapi. Ibu cukup menyediakan makan paginya di piring dan diatur di atas meja makan. Yang dilakukan oleh anak berumur 8 tahun itu merupakan tingkat kemandirian anak kecil. Dibandingkan dengan anak lain yang masih harus dimandikan, dibantu dalam mengenakan baju, disuapi pada waktu makan, anak ini memang tergolong telah mandiri.
b. Seorang pemuda dewasa mengeluh bahwa sifat atau sikap tunangannya terlalu mandiri. Gadisnya itu hampir tidak pernah mau menerima bantuan dari dia. Pulang kuliah tidak mau dijemput dengan mobil sungguhpun hari telah sore. Dia lebih suka pulang sendiri naik bis. Sungguhpun kiriman uang dari orang tuanya sangat kecil dan hampir tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan sekolahnya, dia tidak pernah mau menerima pemberian apapun (baik yang berupa uang maupun materi) dari sang pacar. Dia lebih suka hidup sederhana dengan uang pemberian orang tuanya sendiri. Gadisnya itu tidak pernah minta padanya untuk diantar ke toko, ke rumah teman, bahkan ke setasiun. Biasanya dia harus menawarkan bantuan itu baru si gadis mau menerimanya. Itupun selalu didahului dengan pertanyaan apakah dia (si gadis) tidak mengganggu tugas dan waktu sang pacar.
c. Seorang ayah bercerita dengan bangganya bahwa anak sulungnya telah dapat mandiri. Segera setelah menikah dia langsung memboyong isterinya di rumah kontraknya yang sederhana jauh di pinggiran kota. Sejak itu dia tidak pernah minta bantuan apapun dari orang tua untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sungguhpun sederhana rumahnya dilengkapi dengan perabotan yang tertata rapi. Pakaiannya sungguhpun sederhana selalu rapi dan bersih. Untuk makan dan pemeliharaan kesehatan dia dapat menyediakan sendiri. Pendek kata dia sudah 100% mandiri.
d. Pada waktu Indonesia dipimpin Presiden yang pertama, sang Presiden berpendirian bahwa Indonesia harus dapat berdikari. Artinya harus dapat hidup dan berdiri di atas kaki sendiri. Tidak menggantungkan hidupnya pada bantuan dari negara lain. Indonesia harus mandiri.
Belajar Mandiri
Menurut Wedemeyer seperti yang disajikan oleh Keegan (1983), siswa/peserta didik yang belajar secara mandiri mempunyai kebebasan untuk belajar tanpa harus menghadiri pelajaran yang diberikan guru/instruktur di kelas. Siswa/peserta didik dapat mempelajari pokok bahasan atau topik pelajaran tertentu dengan membaca buku atau melihat dan mendengarkan program media pandang-dengar (audio visual) tanpa bantuan atau dengan bantuan terbatas dari orang lain. Di samping itu siswa/peserta didik mempunyai otonomi dalam belajar. Otonomi tersebut terwujud dalam beberapa kebebasan sebagai berikut:
a. Siswa/peserta didik mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sesuai dengan kondisi dan kebutuhan belajarnya.
b. Siswa/peserta didik boleh ikut menentukan bahan belajar yang ingin dipelajarinya dan cara mempelajarinya.
c. Siswa/peserta didik mempunyai kebebasan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri.
d. Siswa/peserta didik dapat ikut menentukan cara evaluasi yang akan digunakan untuk menilai kemajuan belajarnya.
Kemandirian dalam belajar ini menurut Wedemeyer (1983) perlu diberikan kepada siswa/peserta didik supaya mereka mempunyai tanggung jawab dalam mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan dalam mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki siswa/peserta didik karena hal tersebut merupakan ciri kedewasaan orang terpelajar.
Sejalan dengan Wedemeyer, Moore (dalam Keegan, 1983) berpendapat bahwa ciri utama suatu proses pembelajaran mandiri ialah adanya kesempatan yang diberikan kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan, sumber, dan evaluasi belajarnya. Karena itu, program pembelajaran mandiri dapat diklasifikasikan berdasarkan besar kecilnya kebebasan (otonomi) yang diberikan kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan program pembelajarannya. Tingkat kemandirian pembelajaran dapat diklasifikasi berdasarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Otonomi dalam menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran itu ditentukan oleh siswa/peserta didik, oleh guru/instruktur atau oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Semakin besar kesempatan yang diberikan kepada siswa/peserta didik untuk ikut menentukan tujuan pembelajarannya, berarti semakin besar kesempatan siswa/peserta didik untuk belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Dengan demikian semakin besar pula kesempatan siswa/peserta didik untuk bersikap mandiri.
b. Otonomi dalam belajar. Siapakah yang menentukan buku atau media yang akan dipakai dalam belajar? Apakah semuanya ditentukan oleh guru/instruktur, oleh siswa/peserta didik, atau oleh guru/instruktur dan siswa/peserta didik? Kalau siswa/peserta didik dapat ikut menentukan bahan belajar, media belajar, dan cara belajar yang akan digunakan untuk mencapai tujuan itu, berarti siswa/peserta didik telah diberi kesempatan untuk bersikap mandiri.
c. Otonomi dalam evaluasi hasil belajar. Siapakah yang menentukan cara dan kriteria evaluasi hasil belajar? Dapatkah siswa/peserta didik ikut menentukan cara evaluasi dan kriteria penilaian yang akan dipakai?
Tingkat kemandirian (otonomi) yang diberikan kepada siswa/peserta didik dalam berbagai program pembelajaran tidak sama. Ada program pembelajaran yang lebih banyak memberikan kemandirian (otonomi), ada pula program pembelajaran yang kurang memberikan kemandirian kepada siswa/peserta didik. Contoh, di Universitas London ada program pembelajaran yang memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar sendiri di luar kampus. Mahasiswa yang lulus dalam ujian akan mendapat gelar yang nilainya sama dengan gelar yang diperoleh siswa/peserta didik yang mengikuti kuliah di kampus. Mahasiswa luar kampus ini diberi kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan bahan belajar serta cara belajar yang akan digunakan. Namun demikian mahasiswa tidak diberi kesempatan untuk menentukan cara evaluasi dan kriteria penilaiannya.
Di universitas lain, ada juga program perkuliahan yang memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih sendiri buku dan media belajar yang akan dipakainya. Mahasiswa juga diberi kesempatan untuk memilih cara belajar yang disukainya, (a) siswa/peserta didik boleh mengikuti kuliah, dan boleh belajar sendiri, (b) siswa/peserta didik boleh belajar dari buku, dan boleh belajar dengan melihat program media, dan (c) siswa/peserta didik boleh belajar sendirian, boleh juga belajar bersama dengan teman dalam bentuk diskusi. Namun demikian, dalam program pembelajaran ini, siswa/peserta didik tidak diberi kesempatan untuk menentukan tujuan pembelajarannya dan cara evaluasinya. Jadi kebebasan yang diberikan hanya kebebasan dalam memilih bahan dan cara belajarnya.
Belajar Mandiri dan Belajar Sendiri
Belajar mandiri tidak berarti belajar sendiri (Panen, 1997). Belajar mandiri bukan merupakan usaha untuk mengasingkan siswa/peserta didik dari teman belajarnya dan dari guru/instrukturnya. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri ialah peningkatan kemampuan dan keterampilan siswa/peserta didik dalam proses belajar tanpa bantuan orang lain, sehingga pada akhirnya siswa/peserta didik tidak tergantung pada guru/instruktur, pembimbing, teman atau orang lain dalam belajar. Dalam belajar mandiri siswa/peserta didik akan berusaha sendiri dahulu untuk memahami isi pelajaran yang dibaca atau dilihatnya melalui media pandang dengar. Kalau mendapat kesulitan, barulah siswa/peserta didik akan bertanya atau mendiskusikannya dengan teman, guru/instruktur, atau orang lain. Siswa/peserta didik yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkannya.
Tugas guru/instruktur dalam proses belajar mandiri ialah menjadi fasilitator, menjadi orang yang siap memberikan bantuan kepada siswa/peserta didik bila diperlukan. Terutama, bantuan dalam menentukan tujuan belajar, memilih bahan dan media belajar, serta dalam memecahkan kesulitan yang tidak dapat dipecahkan siswa/peserta didik sendiri.
Teman dalam proses belajar mandiri itu sangat penting. Kalau menghadapi kesulitan, siswa/peserta didik sering kali lebih mudah atau lebih berani bertanya kepada teman dari pada bertanya kepada guru/instruktur. Teman sangat penting karena dapat menjadi mitra dalam belajar bersama dan berdiskusi. Di samping, itu teman dapat dijadikan alat untuk mengukur kemampuannya. Dengan berdiskusi bersama teman, siswa/peserta didik akan mengetahui tingkat kemampuannya dibandingkan dengan kemampuan temannya. Bila siswa/peserta didik merasa kemampuannya masih kurang dibandingkan dengan kemampuan temannya, ia akan terdorong untuk belajar lebih giat. Bila kemampuannya dirasakan sudah melebihi kemampuan temannya, ia akan terdorong untuk mempelajari topik atau bahasan lain dengan lebih bersemangat. Bila menghadapi kesulitan dalam memahami isi pelajaran tertentu, siswa/peserta didik seringkali merasa bahwa dirinya bodoh dan karenanya menjadi putus asa. Tetapi kalau mengetahui bahwa teman-temannya juga mengalami kesulitan yang sama, perasaan di atas dapat dihilangkan dan karenanya tidak menjadi mudah putus asa.
Sungguhpun belajar mandiri tidak berarti belajar sendiri, dan dalam belajar mandiri siswa/peserta didik boleh bertanya, berdiskusi, atau minta penjelasan dari orang lain, menurut Knowless, 1975 (dalam Panen, 1997) siswa/peserta didik yang belajar mandiri tidak boleh menggantungkan diri dari bantuan, pengawasan, dan arahan orang lain termasuk guru/instrukturnya, secara terus menerus. Siswa/peserta didik harus mempunyai kreativitas dan inisiatif sendiri, serta mampu bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Kozma, Belle, Williams, 1978 dalam Panen dan Sekarwinahyu (1997) mendefinisikan belajar mandiri sebagai usaha individu siswa/peserta didik yang bersifat otonomis untuk mencapai kompetensi akademis tertentu. Keterampilan mencapai kemampuan akademis secara otonom ini bila sudah menjadi milik siswa/peserta didik dapat diterapkan dalam berbagai situasi, bukan hanya terbatas pada masalah belajar saja, tetapi dapat juga diterapkan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi masalah, siswa/peserta didik tidak akan tergantung pada bantuan orang lain. Tampaknya, Knowless (1975), Kozma, Belle, Williams (1978), Panen dan Sekarwinahyu (1997) hanya menekankan kemandirian belajar dalam pemilihan sumber dan cara belajarnya. Definisi kemandirian siswa tidak meliputi penentuan tujuan pembelajaran dan evaluasi hasil belajarnya.
Tingkat Kemandirian Siswa/Peserta Didik Dalam Berbagai Program Pembelajaran
Di bagian terdahulu telah dibicarakan bahwa menurut Wedemeyer dan Moore (dalam Keegan, 1983), kemandirian belajar itu dapat ditinjau dari ada tidaknya kesempatan yang diberikan kepada siswa/peserta didik (1) dalam menentukan tujuan pembelajaran, (2) dalam memilih cara dan media belajar yang digunakan untuk mencapai tujuan, dan (3) dalam menentukan cara, alat, dan kriteria evaluasi hasil belajarnya. Kemandirian belajar diberikan kepada siswa/peserta didik dengan maksud supaya siswa/peserta didik mempunyai tanggung jawab untuk mengatur dan mendisiplinkan dirinya dan mengembangkan kemampuan belajar atas kemauan sendiri. Sikap-sikap tersebut perlu dimiliki siswa/peserta didik karena hal tersebut merupakan ciri kedewasaan orang yang terpelajar.
Sampai tingkat tertentu, setiap program, metode pendidikan dapat memberikan kesempatan kepada siswa/peserta didik untuk belajar secara mandiri. Ada program atau metode pendidikan yang tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya sangat besar, sebaliknya ada juga yang tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya sangat kecil.
Contoh program atau metode pendidikan yang tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya sangat besar sangat besar adalah program SMP Terbuka yang memberikan pembelajaran dengan system modul, Paket A, B, C dan Universitas Terbuka.
Sedangkan contoh program atau metode pendidikan yang tingkat kemandirian siswa/peserta didiknya relative kecil adalah tugas mandiri, pembelajaran model portofolio yang member kesempatan kepada siswa untuk memilih materinya sendiri, memilih cara penetuan sumber belajar sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman, 2009, Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta
Bambang Warsita, 2008,Teknologi Pembelajaran: Landasan & Aplikasinya, PT. Rineka Cipta.
Dimyati dan Mujiono, 2006, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Flaming, M dan Levie. 1991, Instructional Message Design Principle from the Behavioral Science, New Jersey Englewood Cliffs : Educational Teknologi Publications.
John W, Santrock,2008, Psikologi Pendidikan, Jakarta: kencana Predana Media Group.
http://kukuhsilautama.wordpress.com/prinsip partisipasi aktif siswa, prinsip umpan balik dan prinsip perulangan/html.
Holmberg, B. (1989). Theory and practice of distance education. London: Rouledge.
Kay, A. dan Rumble, G. (1981). Distance teaching for higher and adult education. London: Croom Helm.
Keegan, D. (1993). Theoretical priciples of distance education. London & New York: Routledge.
Keegan, D. (1986, 1991). The Foundation of distance education. London: Croom Helm.
Keegan, D. (1983). Six distance education theorists. Cambridge: International Extension College.
Lockwood, F. (Editor). (1995). Open and distance learning today. London: Rouledge.
Panen, P. & Sekarwinahyu. (1997). Belajar mandiri dalam mengajar di perguruan tinggi. Program Applied Approach. Bagian 2. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.
Parer, M. S. (Editor). (1989). Development, design and distance education. Victoria: Centre for Distance Learning Gippsland Institute.
Perry, W. dan Greville. (1987). Rumble: A short guide to distance education. Cambride: International Extension Course