Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi dan Siapa yang termasuk Inklusi

Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi dan Siapa yang termasuk Inklusi


Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi dan Siapa yang termasuk Inklusi? Pendidikan Inklusi adalah sebuah pendekatan pendidikan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda, meliputi: karakteristik, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya.

 

Pola pikir ini selanjutnya berkembang dengan proses masuknya konsep tersebut dalam kurikulum di satuan pendidikan sehingga pendidikan inklusif menjadi sebuah sistem layanan pendidikan yang memberi kesempatan bagi setiap peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

 

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa menyatakan bahwa pengertian pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersamasama dengan peserta didik pada umumnya.

 

Adapun Tujuan pendidikan inklusif adalah: a) untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/ atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; b) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

 

Kunci utama yang menjadi prinsip pelaksanaan pendidikan inklusif adalah bahwa semua peserta didik tanpa terkecuali dapat belajar dan perbedaan menjadi kekuatan dalam mengembangkan potensinya. Prinsip umum lainnya dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah kehadiran peserta didik berkebutuhan khusus di kelas sehingga bisa berpartisipasi dan diterima di lingkungan satuan pendidikan.

 

Dalam pelaksanaan pendidikan inklusif, penerapan kurikulum menggunakan prinsip fleksibilitas sehingga bisa diadaptasi sesuai dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik. Prinsip adaptasi berarti dalam melaksanakan pendidikan inklusif, satuan pendidikan harus memperhatikan tiga dimensi dalam melakukan proses penyesuaian, yaitu: kurikulum, instruksional, dan lingkungan belajar (ekologis).

 

Apa saja Kebijakan Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus ?

a. Adaptasi kurikulum terkait denganpenyesuaian isi, materi atau kompetensi yang dipelajari peserta didik. Pada adaptasi kurikulum guru dapat melakukan penambahan keterampilan untuk mengganti agar dapat menguasai kompetensi yang diharapkan atau mengganti dengan kompetensi lain yang setara. Adaptasi lain yang dapat dilakukan guru adalah dengan melakukan penyederhanaan kompetensi yang hendak dicapai. Proses penyederhanaan tergantung pada kemampuan awal, kondisi, dan modalitas belajar peserta didik berdasarkan hasil asesmen. Dalam proses adaptasi kurikulum satuan pendidikan harus:

1) fleksibel dan inovatif;

2) memastikan perkembangan kebijakan sekolah inklusif;

3) membuat penyesuaian kurikulum, membuat perencanaan untuk seluruh kelas, menetapkan tujuan pengajaran yang terbuka dan jelas, menggunakan alternatif metode pengajaran, menggunakan teknologi yang tepat, dan membuat persiapan terlebih dahulu;

4) memastikan kemudahan lingkungan fisik dan mengembangkan lingkungan satuan pendidikan yang mendukung; dan

5) mengembangkan kerja sama dengan bekerja bersama dalam tim.

b. Adaptasi pembelajaran terkait cara,metode, dan strategi yang dapat digunakanguru agar peserta didik menguasai materiatau kompetensi yang ditargetkan. Dalam hal ini guru diberikan keleluasaan dalam melakukan penyesuaian proses pembelajaran di kelas yang beragam dengan mempertimbangkan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus.

c. Adaptasi lingkungan belajar berkaitan dengan pengaturan suasana pembelajaran (dimana, kapan, dan bersama siapa pembelajaran dilakukan) termasuk ketersediaan alat bantu dan sumber belajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

 

Penerapan adaptasi kurikulum dan instruksional dapat dilakukan dengan model:

·          Eskalasi/akselerasi: program percepatan dan perluasan dalam hal waktu dan penguasaan materi. Model ini terutama diterapkan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, serta memiliki kecepatan belajar yang luar biasa.

·          Duplikasi: Model duplikasi artinya kurikulum yang digunakan untuk PDBK sama dengan kurikulum yang digunakan peserta didik pada umumnya yang non-PDBK. Mungkin hambatan yang dialami tidak terlalu berat sehingga masih dapat mengikuti kurikulum yang berlaku di satuan pendidikan tersebut.

·          Simplikasi atau modifikasi: kurikulum umum dimodifikasi, disederhanakan tanpa harus menghilangkan substansi, dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan PDBK. Modifikasi dan penyederhanaan kurikulum dapat dilakukan dalam salah satu atau lebih dari hal-hal berikut, yaitu tujuan, isi, metode dan cara penilaian.

Substitusi: beberapa bagian dari kurikulum umum diganti dengan sesuatu yang kurang lebih setara. Contoh kegiatan menggambar tidak perlu diberikan bagi anak dengan hambatan penglihatan, diganti dengan kegiatan lain yang setara, misalnya menyanyi, atau membuat patung dari bahan yang lunak. Contoh lain anak dengan hambatan pendengaran, mungkin tidak perlu mengikuti pelajaran ‘listening comprehension’ dan dapat digantikan dengan kegiatan lain yang setara, misalnya mengarang, atau menulis cerita.

·          Omisi: beberapa aspek tertentu kurikulum umum sebagian besar ditiadakan menyesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Mereka dapat dibuatkan kurikulum khusus yang bersifat individual berdasarkan hasil identifikasi dan asesmen.

 

Siapa yang termasuk Inklusi ? Dalam  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat 2, 3, dan 4 mendefinisikan tentang siapa yang termasuk Inklusi atau anak berkebutuhan khusus, yakni sebagai (1) anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial; (2) anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; dan (3) anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil sehingga mereka semua berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 

 

Selain cakupan tersebut di atas, konsep PDBK dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu PDBK yang bersifat sementara (temporer) dan PDBK yang bersifat menetap (permanent). PDBK yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktorfaktor eksternal. PDBK yang bersifat menetap atau permanent adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, antara lain: anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, dan gangguan perkembangan intelektual.

 

Untuk memudahkan guru mengetahui siapa yang termasuk inkusi atau peserta didik berkebutuhan berikut ini katagori peserta didik yang ternasuk berkebutuhan khusus yakni sebagai berikut.

1. Peserta didik dengan hambatan penglihatan/Tunanetra

Seseorang disebut mengalami hambatan penglihatan apabila setelah diukur dengan menggunakan alat ukur ketajaman penglihatan menghasilkan skor 20/200 feet atau kurang dari itu, dan/atau memiliki lapang pandang kurang dari 20 derajat. Anak dengan hambatan penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa sehingga membutuhkan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Berdasarkan ketajaman penglihatannya tunanetra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang buta total (totally blind) dan anak kurang lihat (low vision). Keduanya memiliki kebutuhan belajar yang berbeda dan membutuhkan layanan yang berbeda pula. peserta didik dengan hambatan penglihatan biasanya memiliki tingkat perkembangan intelektual yang wajar sehingga dapat mengikuti pendidikan dengan kurikulum standar, tetapi harus dilakukan adaptasi atau penyesuaian.

 

2. Peserta didik dengan hambatan pendengaran/Tunarungu

Peserta didik dengan hambatan pendengaran adalah suatu kondisi kerusakan atau tidak berfungsinya pendengaran dalam berbagai tingkatan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan bahasa. Peserta didik dengan hambatan pendengaran apabila diukur dengan menggunakan audiometer menghasilkan skor 91 dB atau lebih besar, disebut tuli, dan apabila menghasilkan 27 - 90 db disebut kurang dengar (hard of hearing). Walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus. Peserta didik dengan hambatan pendengaran secara umum tidak mengalami hambatan intelektual, tetapi mengalami keterlambatan bahasa dan hambatan komunikasi. Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dilakukan adaptasi, terutama untuk mengatasi kemiskinan bahasa melalui pemerolehan bahasa lebih dahulu.

 

3. Peserta didik dengan hambatan intelektual/Tunagrahita

Peserta didik dengan hambatan intelektual (intellectual disability) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan atau keterbelakangan intelektual sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun sosialnya. Seseorang dikatakan mengalami hambata intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu: a. keterlambatan fungsi kecerdasan secara umum atau perkembangan kecerdasan mentalnya jauh di bawah usia kronologis; b. hambatan dalam perilaku sosial/adaptif; dan c. terjadi pada usia perkembangan maksimal sampai usia 18 tahun. Tingkat kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quitient).

Peserta didik dengan hambatan intelektual dikelompokkan menjadi 4 (empat) tingkatan sebagai berikut:

a. Peserta didik dengan hambatan intelektual ringan (IQ 70-55).

b. Peserta didik dengan hambatan intelektual sedang (IQ 55-40).

c. Peserta didik dengan hambatan intelektual berat (IQ 40-25).

d. Peserta didik dengan hambatan intelektual sangat berat (IQ <25).

Dampak yang ditimbulkan dari peserta didik dengan hambatan intelektual adalah gangguan komunikasi, kemandirian, dan penyesuaian sosial. Sementara secara kognitif peserta didik dengan hambatan intelektual akan menimbulkan dampak sebagai berikut: a. sulit mempelajari tugas-tugas yang sederhana sekalipun; b. hambatan dalam ingatan jangka pendek dan jangka panjang akibatnya mereka kesulitan mengingat, menemukan, dan mengurutkan dengan benar; dan c. tidak dapat menggeneralisasi (Smith, 2004). Termasuk kategori peserta didik dengan hambatan intelektual adalah mereka yang mengalami down syndrome. Anak dengan hambatan

intelektual termasuk down syndrome tidak memungkinkan dapat mengikuti tuntutan kurikulum standar sesuai kelompok usianya, dan karenanya dibutuhkan kurikulum khusus.

Kurikulum pendidikan yang dibutuhkan bagi mereka lebih bersifat pendidikan kemandirian dan pengetahuan akademik yang bersifat dasar dan fungsional.

 

4. Peserta didik dengan hambatan fisik motorik/Tunadaksa

Peserta didik dengan hambatan fisik motoric adalah anak yang mengalami hambatan yang bersifat menetap pada anggota gerak (tulang, sendi, otot). Mereka mengalami gangguan gerak karena kelayuhan otot, atau gangguan fungsi syaraf otak (Cerebral Palsy), dan/atau kelumpuhan pada anggota tubuh (Polio). Seseorang disebut peserta didik dengan hambatan fisik motorik jika mengalami kondisi sebagai berikut.

a. Cerebral Palcy (CP): mengalami gangguan motorik karena ketidak-berfungsinya bagian pada otak (kelayuhan pada otak) tampak dalam kondisi spastic, athetoid, ataxia, rigit, dan tremor.

b. Polio: kelumpuhan pada anggota tubuh karena penyakit atau virus pada masa kandungan atau kanak-kanak sehingga menyebabkan gangguan perkembangan.

c. Amputasi: kehilangan salah satu atau lebih anggota tubuh karena diamputasi dan (biasanya) digantikan anggota tubuh tiruan.

d. Muscular Distrophy Progresive: kelainan gerak yang diakibatkan karena kelainan otot yang bersifat progressif (semakin lama semakin berat).

 

5. Peserta didik dengan hambatan emosi dan perilaku

Anak dengan hambatan emosi dan perilaku menurut IDEA memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. ketidakmampuan belajar tetapi tidak terkait dengan masalah intelektual, sensori, atau faktor kesehatan;

2. ketidakmampuan membangun hubungan interpersonal yang baik dengan teman sebaya maupun guru;

3. ketidakselarasan pola perilaku maupun perasaan dalam situasi normal;

4. menunjukkan ketidakbahagiaan dan depresi; dan

5. cenderung menunjukkan tanda kecemasan yang berkaitan dengan masalah personal maupun problem sekolah.

Peserta didik dengan hambatan emosi dan perilaku secara umum tidak mengalami hambatan intelektual sehingga dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus dengan adaptasi atau penyesuaian.


6. Peserta didik lamban belajar (slow learner)

Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata anak sebayanya, tetapi tidak termasuk kategori peserta didik dengan hambatan intelektual (biasanya memiliki IQ antara 70- 90). Dalam beberapa hal anak ini mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan kemampuan untuk beradaptasi, tetapi lebih baik dibanding dengan peserta didik dengan hambatan intelektual. Mereka membutuhkan waktu belajar lebih lama dibandingkan dengan sebayanya, sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama. Adaptasi kurikulum sangat diperlukan  untuk mereka.

 

7. Peserta didik berkesulitan belajar spesifik (specific learning disability)

Seseorang disebut mengalami kesulitan belajar apabila setelah diukur dengan menggunakan tes kecerdasan menghasilkan skor IQ rata-rata atau di atas rata-rata, tetapi memperlihatkan hasil belajar (pada bidang tertentu) berada jauh di bawah perkembangan usia dan kemampuan mentalnya. Dalam pelayanan pendidikan di sekolah reguler, sering kali guru dihadapkan pada siswa yang mengalami problem belajar atau kesulitan belajar. Salah satu kelompok kecil siswa yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah kelompok anak yang berkesulitan belajar spesifik atau disebut specific learning disability. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah individu yang mengalami gangguan dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi sistem syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalankegagalan nyata dalam: pemahaman, gangguan mendengarkan, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan, lingkungan, budaya, ekonomi, ataupun kesalahan metode mengajar yang dilakukan oleh guru.

Secara garis besar kelompok siswa berkesulitan belajar dapat dibagi dua. Pertama, yang berkaitan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial. Kedua, yang berkaitan dengan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena ada keterkaitan di antara keduanya (Kirk dan Gallagher, 1986). Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dengan penyesuaian (kurikulum adaptasi).

 

8. Peserta didik cerdas istimewa dan bakat istimewa

Seseorang disebut cerdas istimewa dan/atau bakat istimewa apabila setelah diukur dengan menggunakan tes kecerdasan baku menghasilkan skor IQ di atas normal, mereka juga memiliki kreativitas dan task commitment di atas rata-rata. Seorang disebut memiliki bakat istimewa apabila bakat tersebut sangat menonjol dalam bidang akademik tertentu, olahraga, seni dan/atau kepemimpinan melebihi tingkat perkembangan usia teman sebaya. Menurut Renzulli (1978, 2005) Gifted and talented children adalah peserta didik yang mempunyai kelebihan dalam tiga komponen yakni mempunyai kapasitas intelektual di atas rata-rata yang ditandai dengan IQ (skala Weschler) di atas 130, memiliki motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi, serta memiliki kreativitas yang tinggi. Gagne menitikberatkan konsepsi keberbakatan istimewa sebagai hasil interaksi antara factor keturunan (genetic) dan faktor tumbuh kembang (developmental) yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Dalam kegiatan belajar, peserta didik berbakat dapat dengan cepat menguasai materi pelajaran di sekolah. Namun, di sisi lain, mereka cenderung cepat bosan dan frustrasi karena kurangnya tantangan yang diterima di sekolah. Peserta didik berbakat juga mempunyai minat tertentu yang menjadi fokus perhatiannya, tapi fokus dan perhatiannya terhadap minat ini membuat peserta didik berbakat penasaran dan terkadang menjadi tidak peduli dengan berbagai aktivitas lainnya dalam proses belajarmengajar di kelas.

Cara peserta didik berbakat berinteraksi juga berbeda dengan peserta didik lainnya. Mereka cenderung lebih senang diskusi dengan orang dewasa, senang memberikan kritik terhadap pertanyaan daripada menjawab pertanyaan yang diajukan rekannya. Selain itu, peserta didik berbakat juga cenderung lebih rapuh emosionalnya, merasa teralienasi karena dirinya berbeda dengan peserta didik lain di lingkungan sosialnya. Peserta didik berbakat juga mempunyai selera humor yang tinggi, bahkan terkadang dengan mengolokolok dirinya sendiri. Berbagai perbedaan yang dimiliki peserta didik berbakat ini membutuhkan perlakuan khusus dari guru di sekolah dan lingkungan kondusif yang memahami perbedaan yang dimilikinya.

Model layanan bagi peserta didik berbakat ini bisa menggunakan diferensiasi kurikulum, yaitu: a) Pengayaan (enrichment), berupa tawaran ekstra materi pelajaran yang dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan; b) Pemadatan atau (compacting), berupa pemadatan materi pelajaran reguler. Atau dengan kata lain bahwa pelajaran yang diberikan tidak perlu dilakukan pengulanganpengulangan yang memang diperlukan sebagai latihan bagi peserta didik normal; dan c) Paruh waktu (part-time) dalam kelompok-plus atau kelas-plus (pull-out). Kelas itu diadakan ekstra aktivitas atau program yang menantang khusus untuk peserta didik gifted. Kegiatan dalam kelompok/kelas plus ini dilakukan beberapa jam dalam satu minggu. Bila peserta didik gifted tersebut membutuhkan kegiatan yang  menantang guna memenuhi kebutuhan keberbakatannya, ia dapat sementara waktu keluar dari kelasnya (pull-out), masuk ke dalam kelompok-plus atau kelas-plus tersebut, bersama-sama dengan peserta didik gifted lainnya dalam berbagai usia mengerjakan berbagai proyek yang diminatinya. Kelas-kelas seperti ini sering juga disebut Kangarooclass; dan d) Percepatan (acceleration), yaitu berupa lompat kelas (Class skipping). Namun percepatan ini membutuhkan beberapa pertimbangan berupa: kematangan social emosional, kapasitas intelektual, prestasi, adanya lompatan perkembangan didaktik, persetujuan orang tua, dan penerimaan guru.

 

9. Peserta didik autistic spectrum disorders (ASD)

Autistic Spectrum Disorders (ASD) dari kata auto, yang berarti sendiri. ASD sering diartikan seorang anak yang hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan sebuah hambatan perkembangan yang dialami seseorang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan di mana penyandangnya memiliki kekhasan utama, yaitu hambatan interaksi, komunikasi, dan perilaku. Berbeda dari bentuk kebutuhan khusus lain yang sering diklasifikasikan berdasar berat dan ringan, autisme diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang dipayungi dengan istilah spectrum. Masing-masing spectrum memiliki karakter yang unik. Kata kunci pada bentuk-bentuk autis adalah spectrum (Friend, 2003; Yapko, 2004), di mana mengimplikasikan kesamaan karakter, tetapi berbeda variasi pada keterampilan yang ditunjukkan. Spectrum dari autism tersebut adalah autistic disorder atau autism, childhood disintegrative children, Asperger syndrome, Rett’s syndrome, Pervasive developmental disorder-not otherwise specified (PDD-NOS).

Seseorang dikatakan autis jika memiliki serangkaian gejala perilaku yang berbeda pada hambatan dalam tiga ranah perkembangan berikut: a) Hambatan dalam interaksi sosial secara resiprokal/ berbalasan; b) Hambatan dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal, termasuk di dalamnya permasalahan dalam aktivitas imajinasi; c) Hambatan dalam perilaku, termasuk didalamnya keterbatasan dalam serangkaian aktivitas dan minat.

Implikasi dari hambatan komunikasi, interaksi sosial dan perilaku tersebut mengakibatkan berperilaku tidak sesuai dengan situasi social yang sedang berlangsung, tidak adanya kontak mata, permasalahan pada pemusatan perhatian, tidak hadirnya gesture untuk menjembatani komunikasi, dan kesulitan menginterpretasikan gesture orang lain. Sementara itu, dampak dari hambatan komunikasi adalah mereka gagal memahami makna dan tujuan komunikasi sehingga kesulitan mengembangkan makna bicara untuk menginisiasi dan mempertahankan topik percakapan dan bergabung dengan perasaan dan ide orang lain dalam sebuah percakapan. Hambatan perilaku sering ditunjukkan dengan gerakan stereotype dan berulang di mana aktivitas tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain, sebab ekspresi yang mereka tunjukkan tidak lazim.

Keterbatasan yang dialami anak autis menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk mengikuti kurikulum standar. Mereka membutuhkan kurikulum khusus yang disusun berdasarkan hasil asesmen.

 

10. Peserta didik attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)

ADHD Istilah hiperaktif yang banyak dikenal masyarakat sering muncul dengan istilah ADHD (attention deficit hiperactivity disorder). Istilah tersebut menunjuk kepada anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku yang biasanya ditandai dengan satu atau lebih dari tiga ciri berikut: a) kesulitan melakukankonsentrasi atau mencurahkan perhatian dalam waktu yang relatif lama; b) adanya gerakan yang berlebihan atau kesulitan untuk diam; dan c) perilaku impulsif, yaitu kecenderungan untuk bertindak sekehendak hatinya.

 

Peserta didik attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) ada yang sering mengalami gangguan perhatian, misalnya ditandai dengan perilaku melamun, mudah lupa, sembrono, tak acuh, gagal dalam penyelesaian tugas, menghindari tugas berat. Hiperaktivitas dapat ditandai dengan adanya perilaku gelisah, berdiri dari duduk, sulit diam, susah mengendalikan diri, bicara berlebihan, berlari, memanjat tidak pada tempat dan waktunya. Impulsivitas, di antaranya dapat dilihat dari perilaku sebagi berikut: menjawab sebelum pertanyaan selesai, kesulitan dalam hal menunggu giliran, atau suka mengganggu orang lain. Selain itu, peserta  didik ADHD juga mudah terganggu, terlalu aktif dan impulsif dalam perilaku mereka.

 

Demikian uaraian tentang Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Inklusi dan Siapa yang termasuk Inklusi. Semoga ada manfaatnya untuk khasanan pengetahuan Anda.

 


= Baca Juga =


1 comment:

Theme images by mammamaart. Powered by Blogger.
Back to Top