Nasionalisme Sebagai Salah Satu Landasan Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia

Makalah Nasionalisme Sebagai Salah satu Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia


A.  Pentingnya Nasionalisme Sebagai Salah satu Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia
Pendidikan yang diinginkan kemasyarakatan ialah proses pendidikan yang bisa mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia.  Guru harus membina siswa agar bisa memiliki sikap nasionalisme, memiliki sikap kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab sesama teman.  Hal ini berkaitan dengan peran sekolah sebagai sarana sosialisasi.
Kegiatan membentuk nasionalisme merupakan penciptaan peradaaban yang tinggi. Peradaban adalah jaringan kebudayaan.  Biasanya setiap budaya memiliki wilayah (Cohen,1970:64).  Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik.   Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan kekuatan hubungan (power relationships) semakin erat.  Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan, kesenian dan pendidikan.
Kekuatan hubungan dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru.  Peradaban itu adalah kebudayaan yang sudah maju (Hasan, dalam Pidarta,1997:158).   Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti  ‘kerjasama’ adalah suatu kebudayaan.  Umpamanya, kerjasama mendirikan sekolah dapat dilakukan bersama-sama secara  gotong royong dari masyarakat berbagai etnik yang ada di tempat tersebut.  
Pendidikan pada suatu tempat adalah bagian dari kehidupan komunitas masyarakat setempat.  Pendidikan adalah proses membuat orang kemasukan budaya dan membuat orang jadi beradab.  Ada anggapan bahwa pendidikan adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial, dengan mendidik anak-anak agar tidak melakukan tindakan kriminal.  Karena itu, gerakan pendidikan progresif menyerukan rekonstruksi masyarakat dan pembentukkan nasionalisme lewat pendidikan. 
Pendidikan ke arah pembentukkan nasionalisme merupakan tanggungjawab semua guru. Oleh karena itu, pembinaannya pun harus oleh semua guru. Dengan demikian, kurang tepat kalau dikatakan bahwa mendidik para siswa agar memiliki rasa nasionalisme hanya tanggungjawab guru mata pelajaran tertentu, misalnya guru PKn atau guru pendidikan agama. Walaupun dapat dimengerti bahwa porsi yang dominan untuk mengajarkan nasionalisme adalah para guru yang relevan dengan pendidikan nilai.

B.  Memasukkan Muatan Nasionalisme dalam Kurikulum di Indonesia
Konsep  nasionaliusme berkaitan dengan konsep pewarisan budaya. Dalam kaitan ini sudah sejak lama para ahli pendidikan dan kurikulum menyadari bahwa kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Taba, 1962) di samping landasan lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi. Ki Hajar Dewantara (1936, 1945, 1946) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Ahli kurikulum lain seperti Print (1993:15) menyatakan pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi kurikulum dengan mengatakan bahwa kurikulum is a construct of that culture. Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum. Longstreet dan Shane (1993:87) melihat bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal.
Pengembangan Muatan Nasioalisme dalam kurikulum di Indionesia juga dapat dilakukan dengan mengembangan pendekatan multicultural. Hal ini disebabkan Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya seperti dinyatakan dalam motto nasional "Bhinneka Tunggal Ika (Bhina = berbeda banyak; Tunggal = Satu). Kenyataan ini diakui pula oleh seorang ahli sejarah India berbangsa Amerika, Wolpert (1965:7) yang mengatakan bahwa masyarakat India adalah more pluralistic in every respect than any other on earth except, perhaps, Indonesia. Oleh karena itu, apabila kebudayaan adalah salah satu landasan kuat dalam pengembangan kurikulum maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula memperhatikan keragaman kebudayaan yang ada. Artinya, pendekatan multikultural dalam pengembangan kurikulum di Indonesia adalah suatu keharusan yang tak dapat diabaikan lagi.
Atas dasar posisi multikulutral sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum maka pendekatan multikultural untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.

Kegiatan Pramuka merupakan program kurikulum untuk menanamakan rasa Nasionalisme di kalangan pelajar
C.  Bentuk Pembelajaran Agar Pembentukan Nasionaisme Memiliki Makna Bagi Siswa
a.   Pendidikan Nasionalisme dalam pendekatan penanaman nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
b.    Pendidikan Nasionalisme dalam pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:
Tahapan "preconventional":
Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.
Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. Seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
Tahapan "conventional":
Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.
Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Tahapan "posconventional":
Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.
Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.
Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.
Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.
Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya seperti dikemukakan oleh Hersh, et. al. (1980), pendekatan ini menampilkan bias budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya.
Teori Kohlberg juga dikritik mengandung bias sex, karena dilemma yang dikemukakannya dan orientasi penilaian pada keadilan dan hak lebih tepat bagi kaum pria. Berdasarkan kepada hasil uji empiris, kaum wanita cenderung mendapat skor lebih rendah dari kaum pria (Power, 1994). Dalam pelaksanaan program-programnya, teori ini juga memberi penekanan pada proses dan struktur pertimbangan moral, mengabaikan nilai dan isi pertimbangnnya. Berhubungan dengan hal ini, menurut Ryan dan Lickona (1987), pendidikan moral dengan penekanan kepada proses semata dan mengabaikan isi, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Dari sisi lain, pengakuan Kohlberg bahwa teorinya berdasarkan kepada prinsip-prinsip moral yang bersifat universal dibantah juga oleh Liebert (1992). Menurut Liebert, berbagai kajian dalam bidang antropologi tidak mendukung pandangan tentang adanya prinsip-prinsip moral yang universal seperti yang dikemukakan Kohlberg. Realita yang ditemukan adalah berbagai norma, standard, dan nilai-nilai moral yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat pendukungnya.
Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi tertentu, namun seperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona (1987), teori ini juga telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan moral.
c.     Pendidikan Nasionalisme dalam pendekatan analisis nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional (Superka, et. al. 1976).

d.    Pendidikan Nasionalisme dalam pendekatan klarifikasi nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Superka, et. al. 1976).
Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain (Raths, et. Al., 1978).
Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon (Shaver, 1976). Mereka telah menulis sebuah buku, yang pertama-tama membahas tentang pendekatan ini secara terperici, dengan judul Values and teaching: working with values in the classroom. Edisi pertama buku tersebut diterbitkan pada tahun 1966 oleh penerbit Charles E. Merrill. Istilah values clarification pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada tahun 1950an, ketika beliau mengajar di New York University.
Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Elias (1989), bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan pendorong. Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

e. Pendidikan Nasionalisme dalam pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama (Superka, et. al., 1976).
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat meberi pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et. al., 1980). Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain.
Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut beliau, sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.

D.  Solusi Lain apabila pembentukkan nasionalisme tidak dimasukkan dalam kurikulum saat ini.
a)    Pembinaan/Pembentukkan nasionalisme melalui kegiatan Ekstrakurikuler, seperti:
a. Menjelajah alam
Kegiatan menjelajah alam dapat dilakukan dalam berbagai cara, misalnya mendaki gunung, menyeberangi sungai, memanjat tebing, dan sebagainya. Melalui kegiatan menjelajah alam siswa antara lain dapat belajar meningkatkan ketahanan fisik dan mental, belajar percaya diri dan meningkatkan rasa cinta terhadap alam.
b. Berkemah
Kegiatan berkemah biasanya dilakukan di tempat yang jauh dari keramaian. Melalui kegiatan berkemah siswa antara lain dapat belajar cara hidup mandiri, belajar memimpin atau dipimpin, mengembangkan rasa empati dan belajar bekerjasama.
c. Napak tilas
Melalui kegiatan napak tilas siswa antara lain dapat belajar sejarah, menghargai hasil karya atau usaha orang lain, dan meningkatkan rasa cinta terhadap tanah air.
b)    Pembinaan/pembentukkan nasionalisme pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar
Pembinaan atau pembentukkan nasionalisme melalui pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri.

Referensi: 

Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman.
Cohen, A.Y.  1970.  Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The Comparative  Study of Education systems.  (Joseph Fischer; editor).  Pennsylvania: International Textbook Company.
Depdiknas (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Bdiang Pembinaan Kesiswaan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama
Dewantara, Ki Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, Ki Hajar (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Model of moral education: an appraisal. New York: Longman, Inc.
Kohlberg, L. 1971. Stages of moral development as a basis of moral education. Dlm. Beck, C.M., Crittenden, B.S. & Sullivan, E.V.(pnyt.). Moral education: interdisciplinary approaches: 23-92. New York: Newman Press.
Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299. New Jersey: Printice Hall, Inc.
Lictona, T. 1987. Character development in the family. Dlm. Ryan, K. & McLean, G.F. Character development in schools and beyond: 253-273. New York: Praeger.
Pidarta, M.  1997.  Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.  Jakarta : Rineka Cipta. 
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978. Values and teaching: working with values in the classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Shaver, J.P. & Strong, W. 1982. Facing value decisions: rationale-building for teachers. Second Edition. New York: Teacher College, Columbia University.
Superka, D.P. 1973. A typology of valuing theories and values education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values education sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.


= Baca Juga =



No comments

Theme images by mammamaart. Powered by Blogger.
Back to Top