A. Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi
yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses
pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar
belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) de¬ngan respons (R). Stimulus akan
memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu disebut Connection. Prinsip itulah
yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah
menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem. Model eksperimen yang
ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan kucing sebagai objek
penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam kandang yang
dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu
tersebut akan terbuka jika tali tersentuh/tertarik. Di luar kandang diletakkan
makanan untuk merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi
kucing menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak
menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang
menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata
tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu
berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan
yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali
akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu
menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke
dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
a. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai
kesiapan seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan.
Pertama, bila sese¬orang sudah siap melakukan suatu tingkah laku,
pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan
tingkah laku lain. Contoh, peserta didik yang sudah benar-benar siap menempuh
ujian, dia akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu
tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya,
ia akan melakukan ting¬kah laku lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh
peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia
cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk
melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan
suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas.
Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi
terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes
tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan
tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan
suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh,
peserta didik akan merasa lega bila ulangan ditunda, karena dia belum belajar.
b. Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum
penggunaan (the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the law of disuse).
Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, hubungan
stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan
menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika
latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar
bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus
berupa pertanyaan "apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa
Indonesia...." maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu
dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah
menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang,
akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang,
pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c. Hukum Akibat (The Law of Effect)
Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat,
jika akibat yang ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan semakin
lemah, jika yang dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang
diikuti dengan akibat yang menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi
jika akibatnya tidak menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan.
Hubungan ini erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi
(pun¬ishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek
lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung
mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan dengan kondisi seperti itu. Tetapi,
bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia
akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain,
ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, sebab ia merasakan ada
hal yang tidak menyenangkan baginya.
B. Teori Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan
Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah
tentang condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif
mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing
sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi,
dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan
kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur
sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada
akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan.
Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi
itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses
belajar dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai
berikut:
a. Belajar adalah pembentukan kebiasaan
dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang
lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses belajar terjadi apabila ada
interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan
pada organisme/individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan
aktivitas otak.
e. Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur
oleh eksitasi dan inhibitasi.
C. Teori Operant Conditionins
Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic
Skinner. la membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah laku yang
ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke sana kemari
karena melihat daging. Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan
oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh
organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar.
Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena
melihat daging (Sri Rumini, 1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laku
tersebut, ada dua macam kondisi, yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi
ini disebut sebagai tipe S, karena menitikberatkan pada sti¬mulus. Hal ini sama
dengan kondisi yang dikemuka¬kan oleh Pavlov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini
disebut sebagai tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya respons. Menurut
Skinner, ada dua prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu:
• Setiap respons yang diikuti stimulus yang
memperkuat reward (ganjaran), akan cenderung diulangi.
• Stimulus yang memperkuat reward akan
meningkatkan kecepatan terjadinya respons operant. Dengan kata lain, reward
akan mengakibatkan diulanginya suatu respons.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang,
Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun
hadiah, mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang dikehendaki.
Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman
justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan hukuman tidak simetris.
D. Teori Gestalt
Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang
menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori gestalt bermula ketika Wertheimer
melihat cahaya lampu yang berkedap-kedip saat naik kereta api pada jarak
tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang-pergi
dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi
dihadapkan pada suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang sampai problem
itu terpecahkan. Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari
keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt, problem merupakan stimulus sampai
didapat suatu pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berpikir
tentang suatu bahan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai
bentuk respons dari stimulus yang berupa masalah tadi.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum
yang sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang
sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh.
Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan
itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke
bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan
di setiap jenjangnya.
Teori Gestalt dengan metode globalnya juga
sangat berpengaruh dalam metode membaca dan menulis. Metode yang resmi
digunakan dengan mengacu teori ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural,
Analitis, dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses
mengajarnya adalah sebagai berikut:
a. Pada permulaan sekali, anak dihadapkan
pada cerita pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini
jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Karena itu, dengan mudah
anak akan segera dapat membaca seluruhnya dengan menghafal. Biarkan murid
membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan.
b. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi
kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah menunjukkan bahwa cerita pendek itu
terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat diberi warna yang berbeda, dan
antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi
kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda, terpisah, dan ditulis
agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun dan dibaca
pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan kata menjadi suku kata.
e. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan
tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda.
f. Setelah mengenal huruf, peserta didik
diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi; dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa
belajar secara alamiah, sesuai dengan prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu
menarik, tidak menjemukan, karena dimulai dengan cerita dan kalimat-kalimat
yang mengandung arti. Metode ini sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak
mengganggu, serta tergantung pada proses persepsinya masing-masing. Peserta
didik membaca dengan memahami isinya dan akhirnya murid lebih cepat menguasai
pembacaan yang sebenarnya.
E. Teori Medan (Field Theory)
Lingkungan dipandang sebagai gejala yang
saling memengaruhi. Teori medan memandang bahwa tingkah laku dan atau proses
kognitif adalah suatu fungsi dari banyak variabel yang muncul secara simultan
(serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa mengubah basil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa
tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta
psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu
merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan
kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup
kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif
atau negatif pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan
menentukan tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman
yang disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan
menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan
perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam
suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud
dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori
gestalt. Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar.
a. Belajar adalah perubahan struktur kognitif
(pengetahuan)
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang
berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti
ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti
seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan.
b. Peranan hadiah dan hukuman
Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi
yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik
bagi peserta didik pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah).
Tetapi, tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya
dianggap sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.
c. Masalah sukses dan gagal
Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah
sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan
dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih tepat mengatakan bahwa suatu tujuan
berhasil atau gagal dicapai daripada mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung
hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses dapat diperoleh melalui beberapa hal:
1) Pengalaman sukses dialami bila seseorang
benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya, seseorang yang ingin
lulus dalam suatu program tertentu, kemudian ternyata memang lulus.
2) Pengalaman sukses juga dialami bila
sese¬orang sudah berada di dalam daerah tujuan yang ingin dicapai. Misalnya,
orang dikatakan lulus dalam suatu program bila tinggal mengulang beberapa mata
kuliah saja.
3) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang
telah membuat suatu kemajuan ke arah tujuan yang akan dicapai. Misalnya, orang
merasa berhasil kalau telah mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi
ujian.
4) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang
telah berbuat dengan cara yang oleh masyarakat dianggap sebagai cara untuk
mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa suk¬ses bila pada waktu ujian
keluar paling awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat
individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang,
tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas
I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik
tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf Aspirasi
Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan
dengan taraf aspirasi seseorang. Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap
orang perlu merumuskan tujuan meskipun masih bersifat sementara, sehingga
ketika ia berada di daerah tujuan sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e. Pengulangan dapat menimbulkan kejenuhan
psikologis.
Sebagai penerus dan penyempurna aliran
gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang diperoleh pertama pada saat belajar
adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan memiliki kedudukan sekunder.
Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas
pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak
akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya
diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari pemecahan
masalah.
F. Teori Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R.
Rogers adalah tiga tokoh utama dalam teori bela¬jar humanistik. Berikut uraian
pandangan mereka.
Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat
bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud,
menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain,
kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang
dirinya.
Pendidik dapat memahami perilaku peserta
didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik memersepsikan perbuatannya
pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja ti¬dak
aneh bagi orang lain.
Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli
psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi
itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik
beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun
rapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap
dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah
bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik
memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta
didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar
hati karena misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu
tokoh psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini berpengaruh dalam upaya
memahami motivasi manusia. la menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat
dorongan positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang menghambat.
Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat
Mas¬low, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh
setiap manusia yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari
kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi.
Kebutuhan tersebut adalah.
a. Kebutuhan jasmaniah
b. Kebutuhan keamanan
c. Kebutuhan kasih sayang
d. Kebutuhan harga diri
e. Kebutuhan aktualisasi diri
Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan
manusia tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh
karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu
beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi
tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan
pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat
belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat
berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang
ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa persoalan
pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak optimal,
sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kon¬disi ideal yang
dia butuhkan.
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi
humanis yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek
pendidikan. la menyarankan adanya suatu pendekatan yang berupaya menjadikan
belajar dan mengajar lebih manusiawi. Menurut Sri Rumini (1993: 110-112),
gagasan itu adalah:
a. Hasrat untuk belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat
untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan saja, betapa ingin tahunya
anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu dan belajar
merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di dalam kelas yang humanistis,
peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk memuaskan dorongan ingin
tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya bisa memuaskan kebutuhannya.
Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di mana seorang pendidik atau
kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang berarti
Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara
bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan peserta didik. Anak akan belajar
jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya, anak cepat belajar menghitung uang
receh karena uang tersebut dapat digunakan untuk membeli barang kesukaannya.
c. Belajar tanpa ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat
disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman.
Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar ketika peserta didik dapat
menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru, atau membuat
kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang menyinggung perasaannya. Jika
kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran pun akan menjadi kondusif. Anak
tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai fasilitator yang
menyenangkan.
d. Belajar atas inisiatif sendiri
Bagi para humanis, belajar akan sangat
bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri. Peserta didik akan mampu
memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki kesempatan untuk menimbang
dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan introspeksi diri. Dia akan
bergantung pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya menjadi lebih
baik.
e. Belajar dan perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan Rogers
adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar.
Menurutnya, di waktu lampau peserta didik belajar mengenal fakta-fakta dan
gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang didapat di sekolah dirasa sudah cukup
untuk kebutuhan saat itu. Tetapi sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang
datang setiap waktu. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah
dijadikan pegangan untuk mencapai sukses di masa sekarang ini. Apa yang
dibutuhkan sekarang adalah orang-orang yang mampu belajar di lingkungan yang
sedang berubah dan terus akan berubah.
Teori-teori pendidikan ini menjadi warna yang
dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada satu teori
yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan.
Terima kasih, artikelnya sangat lengkap dan sangat bermanfaat khusus bagi mahasiswa pasca. Sekali lagi Trims
ReplyDeleteOk banget, postingnya bagus , lengkap dan bermanfaat. Ditunggu posting-posting lainnya
ReplyDeleteBlognya keren lho, Tulisannya menarik, sok pasti sanget bermanfat bagi semuanya terutama tuh bagi mahasiswa teknologi pembelajaran, Psikologi dan yang ambil PBI. Selamat, trus berkaya lho……….
ReplyDeleteTerima kasih banyak, artikelnya sangat membantu saya dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah
ReplyDeleteTerima kasih, Melalui blog ini, saya banyak menemukan tulisan sebagai bahan penyusunan tugas kuliah. Blog ini benar-benar bermanfaat buat saya. Sekali lagi. Trimks Admin semoga sukses selalu. Amiin
ReplyDeleteTerima kasih, artikelnya sangat membantu. Izin copas ya untuk bahan referensi
ReplyDelete