Kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan
yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan,
termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang
luar biasa itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena
komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan:
revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu
cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai,
keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara
berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor
tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin
atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam
menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi,
komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita harus mengembangkan
proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat
lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut
begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi.
Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal
yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan
hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan.
Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita
harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab
dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus
dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh
teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak
dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik
adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk
melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si
belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa
individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda
dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran
ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan
berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di
segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi
pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat
sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai
kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah
terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang
mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan
ini dengan menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu
dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus
terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara
belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada
fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus
mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana
masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut,
di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara
terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang
diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan
sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi
arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak
hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru.
Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana
orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada
dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk
menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk
mengetahui dang mengulangi hal-hal lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam
pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik
dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi
pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi
dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan
yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah
paradigmna konstruktivistik.
2.
Hakikat Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik
a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang
penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa
terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus
(S) dengan respon ® yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike
ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan
beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari
berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon,
dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau
ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan
bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis
dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan
respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah
pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut
Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike
(dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) mengemukakan bahwa terjadinya
asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1)
Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan
respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi
dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan – yang telah terbentuk
akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon – dilatih (digunakan),
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect),
yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh
suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti
(idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu
stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan
asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham
psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hamper senada dengan
hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang
terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat bila diberi
penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif
dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya
mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya
pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negative adalah stimulus yang
dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell,
1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan
menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur
kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur
kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif
akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang
diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah
dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.
Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses
rekonstruksi.
Yang terpenting dalam
teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah
yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar
atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental
learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik
dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian
pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang
bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3)
menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran
dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik
oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah
non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
3. Aspek-aspek Pembelajaran
Konstruktivistik
Fornot mengemukakan
aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation),
konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan
makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J.
Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses
yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses
kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini
berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata
melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru
perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam
menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi
Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang
ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan
atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding.
Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut
dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa
mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding,
berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan.
Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social
budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting
yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya
bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda
(sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of
proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan
menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan
kompetensi.
Sumbangan penting teori
Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori
Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran. Menurut
teori Vygotsky, funsi kognitif manusia berasal dari interaksi social
masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona
of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut seperti pada sekema berikut.
- Effective habits of mind
- Cooperative colaborative
- Effective communication
- Information processing
- Complex thinking
Pengetahuan dan
pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan
aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog
antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman
fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain.
Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul
ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh
siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu
siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengna
siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Secara singkat
teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table berikut ini.
Tabel 1
Piagetian and Vygotskyan Constructivism
Piagetian
Constructivism
|
Vygotsky
Constructivism
|
|
Concept
|
constructivism
focus on individual cognitive development through co-constructed learning
environments with national, decontextualized thinking as the goal of development
|
Vygotsky,
in order to understand human development, a multilevel analysis using all
four levels of history must be employed: sosiocultural constructivism,
|
Subject
of Study
|
Focus on
the development of autonomous cognitive forms within the individual,
culminating in rational thought that is decentered from the individual.
|
argued
that individual development cannot be understood without reference to the
interpersonal and institutional surround which situates the child
|
Develop-ment
of cognitive forms
|
the
structure of the mind is the source of our understanding of the world.
|
the
construction of knowledge occurs through interaction in the social world.
Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means of the
dialectical relationship between the individual and the social context
|
Pembelajaran
konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng
dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan
behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Pengtahuan
adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
|
Pengetahuan
adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi.
|
Belajar
adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif,
dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si
belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
|
Belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan ke orang yang belajar.
|
Si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
|
Si
belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus
dipahami oleh si belajar.
|
Mind
berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau
perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat
unik dan individualistic.
|
Fungsi
mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.
|
Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan
Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Ketidakteraturan,
ketidakpastian, kesemrawutan,
|
Keteraturan,
kepastian, ketertiban
|
Si
belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna
belajar.
|
Si
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih
dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial.
Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
|
Kegagalan
atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi
yang berbeda yang perlu dihargai.
|
Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
|
Kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang
harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam
belajar.
|
Ketaatan
pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah
objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
|
Control
belajar dipegang oleh si belajar.
|
Control
belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.
|
Table 4
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Tujuan
pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
|
Tujuan
belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.
|
Tabe 5
pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Penyejian
isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan
dari keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran
lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan
penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran
menekankan pada proses.
|
Penyajian
isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada
keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran
menekankan pada hasil
|
Tabe 6
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan
terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
Evaluasi
yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu
jawaban benar
Evaluasi
merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang
menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari
dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam
kelompok.
|
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan
‘paper and pencil test’
Evaluasi
yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar
telah menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi
belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi
individual.
|
4.
Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan
Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior
knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang
mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur
kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program
pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi,
situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan
pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic
yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan
intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati
dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Oengungkapan gagasan tersebut dapat
memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan
tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai
dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila
gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya.
Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya
melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini,
berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap
orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring
pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan
dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a)
tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang
kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta
untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung
ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt
melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk
menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset,
mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan
mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana
yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha
untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui
diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan
mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan
sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan
yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa
akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai
macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji
penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit
miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk
meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya
mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap
strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat
sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten
tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya
akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka
untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran yang semakin rumit,
maka pembelajaran behavioristik yang selama ini telah digunakan selama
bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi menjawab semua persoalan
pembelajaran, maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu
mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah
pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai
perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai keberagaman dalam menerima
dan memaknai pengetahuan.
Terima Kasih telah membantu saya menyelesaikan tugas kuliah.
ReplyDeleteBlognya keren lho, Tulisannya menarik, sok pasti sanget bermanfat bagi semuanya terutama tuh bagi mahasiswa teknologi pembelajaran, Psikologi dan yang ambil PBI. Selamat, trus berkaya lho……….
ReplyDeleteBlognya keren lho, Tulisannya menarik, sok pasti sanget bermanfat bagi semuanya terutama tuh bagi mahasiswa teknologi pembelajaran, Psikologi dan yang ambil PBI. Selamat, trus berkaya lho……….
ReplyDeleteBlognya keren lho, Tulisannya menarik, sok pasti sanget bermanfat bagi semuanya terutama tuh bagi mahasiswa teknologi pembelajaran, Psikologi dan yang ambil PBI. Selamat, trus berkaya lho……….
ReplyDeleteBlognya keren lho, Tulisannya menarik, sok pasti sanget bermanfat bagi semuanya terutama tuh bagi mahasiswa teknologi pembelajaran, Psikologi dan yang ambil PBI. Selamat, trus berkaya lho……….
ReplyDeleteTerima kasih, Melalui blog ini, saya banyak menemukan tulisan sebagai bahan penyusunan tugas kuliah. Blog ini benar-benar bermanfaat buat saya. Sekali lagi. Trimks Admin semoga sukses selalu. Amiin
ReplyDeleteTerima kasih telah berbagi, artikelnya sangat membantu.
ReplyDelete